Kamis, 24 Maret 2016

Sejarah Supersemar





 Mengulas Sejarah Supersemar

1. Sejarah Supersemar

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.

Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.

Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.


 Isi Supersemar



Menurut versi resmi, awalnya keluarnya supersemar terjadi ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.

Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.




Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.

Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
 



2. Supersemar dan Tafsir Soeharto
 

Soeharto tidak menjalankan perintah Sukarno dalam Supersemar. Dia mengambil langkah sendiri untuk berkuasa.



Soeharto di belakang Sukarno, Maret 1966.
Foto: Beryl Bernay/gettyimages.com.

SUPERSEMAR (Surat Perintah 11 Maret 1966) berisi perintah Sukarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum. Perintah kedua adalah meminta Soeharto untuk melindungi presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya. Namun, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno.

Langkah pertama yang dilakukan Soeharto begitu menerima surat tersebut adalah membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Surat Keputusan Presiden No. 1/3/1966 yang ditandatanganinya pukul 04.00 Sabtu, 12 Maret 1966. Surat itu dibuat mengatasnamakan presiden dengan modal mandat Supersemar yang ditafsir Soeharto sendiri.
Probosutedjo, adik Soeharto, mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak ada kalimat yang menyebutkan untuk membubarkan PKI di dalam Supersemar. “Tetapi Mas Harto memiliki keyakinan bahwa pemulihan keamanan hanya akan terjadi jika PKI dibubarkan,” katanya dalam memoar Saya dan Mas Harto.

Setelah itu, Kolonel Sarwo Edhie, komandan RPKAD (sekarang Kopassus), berkonvoi keliling kota untuk show of force. KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), Front Pancasila, dan sejumlah organisasi massa bergabung dengan RPKAD dan Kostrad.

Menurut aktivis KAMI, Jusuf Wanandi, demonstrasi kemenangan itu merupakan show of force dan pameran persatuan unsur-unsur angkatan bersenjata yang pro-Soeharto dengan rakyat, terutama mahasiswa dan pemuda. Dalam demonstrasi tersebut, “salinan Supersemar dan surat pembubaran PKI disebarluaskan,” kata Jusuf dalam memoarnya Menyibak Tabir Orde Baru.

Sukarno marah besar melihat demonstrasi Supersemar itu. Pada 14 Maret 1966, dia memanggil semua panglima angkatan bersenjata ke Istana dan memarahi mereka. Dia menegaskan bahwa Supersemar tidak pernah dimaksudkan untuk membubarkan PKI.

Menghadapi kemarahan Sukarno, kata Jusuf, Soeharto tetap tenang. “Mungkin karena miskin, susah di masa mudanya, dia mempunyai kekuatan batin yang hebat. Dia bisa saja menyerah saat itu, tetapi dia tidak mau. Dia berlaku pura-pura tidak tahu.” Sesudahnya, Soeharto menetralisasi satu per satu para panglima itu agar berada di belakangnya.

Langkah kedua, lagi-lagi Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dianggap terkait PKI dan terlibat Gerakan 30 September 1965. Sebagai pengganti, Soeharto mengangkat lima menteri koordinator ad interim (Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik, Roeslan Abdulgani, KH Idham Chalid, dan J. Leimena) dan beberapa orang menteri ad interim sampai terbentuknya kabinet baru.

Dengan demikian, Jusuf mengakui bahwa “perjuangan kami sudah mencapai tiga perempat jalan: PKI dilarang, kabinet dirombak, dan menteri yang prokomunis disingkirkan. Namun, kekhawatiran kami yang paling besar adalah Soekarno mencabut Supersemar.”


Kontroversi Keaslian Supersemar

Soeharto sudah mengantisipasinya. Tidak lama setelah menerima Supersemar, “pasal kedua mengenai perlindungan bagi Soekarno dicoret dari dokumen tersebut,” ungkap Jusuf.

Kekuatan anti-PKI mendorong Soeharto segera mengadakan Sidang MPRS untuk mengeluarkan ketetapan yang mengkukuhkan Supersemar. Pada 20 Juni-6 Juli 1966, MPRS mengadakan Sidang Umum. Pidato pertanggungjawaban Sukarno yang berjudul Nawaksara, ditolak MPRS. Pada saat yang sama, MPRS menetapkan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966 tetang Supersemar.

Presiden Sukarno sempat mengecam aksi Soeharto gunakan Supersemar di luar kewenangan yang dia berikan. Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Sukarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”. Sama sekali bukan pengalihan kekuasaan.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya penetapan Supersemar sebagai ketetapan MPRS telah mengikis habis kekuasaan Sukarno sekaligus menghilangkan kemampuannya untuk mencegah tindakan politis yang dilakukan Soeharto atas nama surat tersebut. “Dia pun tak akan dapat mencabut surat perintah itu,” tulis Baskara dalam Membongkar Supersemar.

Menurut Jusuf, TAP MPRS itu juga tidak menyebut kewajiban untuk melindungi Sukarno, keluarga, ideologi, dan ajarannya. Padahal di dalam Supersemar disebutkan bahwa pengemban amanah wajib melakukan itu. “Inilah bukti kelicikan Soeharto agar dia tidak terdorong untuk berhadapan dengan Soekarno,” ujar Jusuf, “Pendekatan bertahap ini berhasil”

Supersemar, Jusuf menyimpulkan, adalah “kemenangan hukum dan politik Soeharto, walaupun belum sepenuhnya karena secara konstitusional Soekarno masih presiden dan masih berkuasa.” Soeharto baru berkuasa penuh ketika dilantik sebagai penjabat presiden pada 12 Maret 1967.

Setelah itu, jangankan melindungi Sukarno, Soeharto malah menjadikan Sukarno “tahanan rumah” di Istana Bogor, kemudian di Wisma Yaso di Jakarta. Sukarno juga menjalani interogasi oleh Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban), yang baru dihentikan setelah dia sakit parah. Selama sakit, Sukarno tidak mendapatkan perawatan yang baik, sampai meninggal pada 21 Juni 1970.

3. Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966

Keberadaan naskah otentik yang masih belum diketahui, kemudian proses mendapatkan surat hingga interpretasi yang dilakukan Soeharto terus menjadi kontroversi.





Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto. (Istimewa/Arsip KOMPAS`)
Ada tiga kontroversi yang muncul jika membicarakan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi momentum peralihan kekuasaan Presiden pertama RI, Soekarno, ke Soeharto.

Pertama, menyangkut keberadaan naskah otentik Supersemar. Kedua, proses mendapatkan surat itu. Ketiga, interpretasi yang dilakukan oleh Soeharto. 

Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, keberadaan naskah otentik Supersemar hingga kini belum diketahui. 

 
Kendati lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia menyimpan tiga versi naskah Supersemar, ketiganya tidak otentik.

"Ada tiga arsip naskah Supersemar, dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari seorang kiai di Jawa Timur," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016). 

Kontroversi berikutnya mengenai proses memperoleh surat tersebut. Perlu dijelaskan kepada masyarakat, terutama dalam pelajaran sejarah, bahwa Supersemar diberikan bukan atas kemauan Soekarno, melainkan di bawah tekanan. 

Menurut Asvi, sebelum 11 Maret 1966, Soekarno pernah didatangi oleh dua pengusaha utusan Mayjen Alamsjah Ratu Prawiranegara. Kedua pengusaha itu, Hasjim Ning dan Dasaad, datang untuk membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto. 

Akan tetapi, Soekarno menolak, bahkan sempat marah dan melempar asbak. "Dari situ terlihat ada usaha untuk membujuk dan menekan Soekarno telah dilakukan, kemudian diikuti dengan pengiriman tiga jenderal ke Istana Bogor," ungkap Asvi.

Setelah Supersemar dibuat oleh Soekarno, Soeharto menggunakannya dengan serta-merta untuk melakukan aksi beruntun sepanjang Maret 1966.




Soeharto melakukan pembubaran PKI, menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan anggota Tjakrabirawa, dan mengontrol media massa di bawah Puspen AD. 

Sementara itu, bagi Soekarno, surat itu adalah perintah pengendalian keamanan, termasuk keamanan dirinya selaku Presiden dan keluarganya. Soekarno pun pernah menekankan, surat itu bukanlah transfer of authority

Namun, Amirmachmud, jenderal yang membawa surat perintah dari Bogor ke Jakarta pada 11 Maret 1966, langsung berkesimpulan bahwa itu adalah pengalihan kekuasaan.


Video Supersemar dan Sejarahnya

Daftar Pustaka :
https://en.wikipedia.org/wiki/Supersemar
http://historia.id/modern/supersemar-dan-tafsir-soeharto
http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/03/tiga-kontroversi-di-balik-supersemar-11-maret-1966

Tidak ada komentar:

Posting Komentar